Sejarah Marga Nasution
Si Baroar
Si Baroar adalah sebuah legenda yang mengisahkan tentang
asal-usul orang-orang Mandailing yang bermarga Nasution di daerah
Sumatra Utara, Indonesia. Menurut cerita, si Baroar adalah anak yatim
piatu yang berwajah tampan. Ia memiliki wajah yang sangat mirip dengan
wajah putra Sutan Pulungan, Raja dari Kerajaan Huta Bargot. Kemiripan
wajah kedua anak tersebut membuat Sutan Pulungan dan permaisurinya
merasa sangat terhina, karena rakyatnya seringkali keliru menyapa kedua
anak itu. Akhirnya, Sutan Pulungan memutuskan untuk membunuh si Baroar.
Berhasilkah Sutan Pulungan membunuh si Baroar? Ikuti kisah selengkapnya
dalam cerita Si Baroar berikut ini!
* * *
Alkisah, di Mandailing, Sumatra Utara, terdapat sebuah kerajaan kecil
yang bernama Huta Bargot. Kerajaan tersebut terletak di seberang Sungai
Batang Gadis. Rajanya yang bergelar Sutan Pulungan. Ia mempunyai
seorang permaisuri dan putra yang masih bayi. Di sela-sela kesibukannya
mengurus kerajaan, Sutan Pulungan sering meluangkan waktu pergi ke
tengah hutan untuk berburu rusa.
Pada suatu hari, Sutan Pulungan bersama beberapa orang hulubalang dan
prajuritnya berburu rusa di sebuah hutan lebat. Sutan Pulungan membawa
anjing pemburu kesayangannya yang sangat pintar dan tangkas bernama
Sipamutung. Ketika mereka sampai di tengah hutan, Sipamutung tiba-tiba
berlari kencang menuju ke suatu tempat. Tak berapa lama kemudian, ia pun
terdengar menyalak dengan serunya. Mendengar salakan anjing
kesanyangannya tersebut, Sutan Pulungan segera memerintahkan prajuritnya
pergi ke tempat Sipamutung menyalak.
“Prajurit! Cepatlah kalian susul si Pamutung! Aku yakin dia pasti menemukan rusa!” seru Sutan Pulungan kepada prajuritnya.
Mendengar perintah itu, beberapa orang prajurit segera berlari ke
tempat Sipamutung menyalak. Setibanya di tempat itu, mereka melihat
sebuah banyangan perempuan berkelebat lari dari bawah sebatang pohon
beringin besar. Sementara Sipamutung masih terus menyalak. Ketika para
prajurit tersebut mendekat dan memeriksa ke bawah pohon itu, tampaklah
seorang bayi laki-laki tampan terbaring di atas sebuah batu besar. Tak
berapa lama kemudian, Sutan Pulungan pun tiba di tempat itu.
“Hai, Prajurit! Mana rusa itu?” tanya Sutan Pulungan.
“Ampun, Baginda! Ternyata Sipamutang menyalak bukan karena menemukan rusa, tapi seorang bayi,” jawab seorang prajurit.
“Apa katamu? Seorang bayi?” tanya Sutan Pulungan terkejut seraya mendekati bayi tersebut.
“Siapa yang meletakkan bayi di atas batu ini?” Sutan Pulungan kembali
bertanya. “Ampun, Baginda! Hamba juga tidak tahu. Tapi, saat baru tiba,
hamba dan prajurit lainnya melihat seorang perempuan berkelebat dengan
sangat cepat meninggalkan tempat ini,” jawab seorang prajurit lainnya.
Mendengar penjelasan prajurit tersebut, Sutan Pulungan pun yakin
bahwa bayi itu sengaja dibuang oleh orang tuanya. Akhirnya, ia bersama
rombongannya memutuskan untuk berhenti berburu dan segera membawa pulang
bayi malang itu. Setibanya di Negeri Huta Bargot, Sutan Pulungan
menyerahkan bayi itu kepada seorang janda tua bernama si Saua, yang
sejak lama mendambakan seorang anak.
“Terima kasih, Baginda! Hamba akan merawat bayi ini seperti anak kandung hamba sendiri,” ucap janda tua itu dengan senang hati.
Setiap kali pergi bekerja ke sawah, perempuan tua itu meletakkan bayi
tersebut di dalam baroar, yakni kandang anjing. Oleh karena itu,
orang-orang pun menamakan anak itu si Baroar.
Waktu terus berjalan. Si Baroar telah berusia lima tahun dengan wajah
yang sangat tampan. Namun anehnya, wajah dan perawakan si Baroar sangat
mirip dengan putra Sutan Pulungan, sehingga orang-orang di sekitarnya
tidak dapat lagi membedakan keduanya. Orang-orang sering keliru menyapa
ketika bertemu dengan salah seorang dari kedua anak tersebut. Jika si
Baroar berjalan-jalan sendirian, orang-orang yang bertemu dengannya
selalu memberi hormat kepadanya dan menyapanya seperti menyapa putra
Sutan Pulungan. Tetapi sebaliknya, jika bertemu dengan putra Sutan
Pulungan, mereka memperlakukannya seperti anak orang kebanyakan.
Saat mengetahui putranya sering mendapat perlakuan demikian dari
orang-orang di sekitarnya, Sutan Pulungan dan permaisurinya merasa
sangat terhina. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk membunuh si
Baroar secara rahasia agar tidak diketahui oleh orang banyak.
Pada suatu hari, Sutan Pulungan mengumpulkan seluruh pembesar
kerajaan untuk menyusun rencana pembunuhan rahasia tersebut. Dalam
sidang tersebut, ia memerintahkan kepada pembesarnya agar segera
menyelenggarakan upacara adat Sopo Godang, yakni upacara penggantian
tiang besar balai sidang yang sudah lapuk. Sutan Pulungan akan
menyelenggarakan upacara adat tersebut secara besar-besaran di istana
Kerajaan Huta Bargot, karena ia ingin memanfaatkan keramaian itu untuk
menutupi perbuatannya membunuh si Baroar.
“Bagaimana caranya kami membunuh si Baroar, Baginda?” tanya seorang
hulubalang. “Sebelum memasukkan tiang pengganti ke dalam lubang tempat
menanamnya, terlebih dahulu kalian harus menjatuhkan si Baroar ke dalam
lubang tersebut, dan menimpanya dengan tiang pengganti,” jelas Sutan
Pulungan. Sutan Pulungan juga memerintahkan kepada seorang hulubalang
untuk memberi tanda silang pada kening si Baroar dengan kapur sirih.
“Ampun, Baginda! Kenapa si Baroar harus diberi tanda silang?” tanya hulubalang lainnya ingin tahu.
“Maksudnya adalah agar kalian bisa membedakan secara pasti yang mana
si Baroar dan yang mana pula putraku, sehingga kalian tidak keliru
membunuh si Boroar,” jelas Sutan Pulungan.
Setelah mendengar penjelasan tersebut, para pembesar kerajaan segera
menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam upacara Sopo Godang
tersebut. Begitu pula hulubalang yang telah ditunjuk oleh sang Raja
segera mencari si Baroar untuk memberi tanda silang pada keningnya.
Pada hari yang telah ditentukan, upacara adat itu segara akan
dilaksanakan. Seluruh rakyat negeri yang akan mengikuti upacara adat
tersebut telah berkumpul di halaman istana. Dalam upacara tersebut Sutan
Pulungan juga menyelenggarakan berbagai atraksi dan pertunjukan seni.
Hal ini bertujuan untuk mengalihkan perhatian para warga yang hadir agar
para hulubalang dapat melaksanakan tugas untuk membunuh si Baroar tanpa
sepengetahuan mereka.
Ketika para warga sedang asyik bersuka ria, para hulubalang pun
menyiapkan tiang untuk dimasukkan ke dalam lubang. Kebetulan saat itu,
mereka melihat si Baroar yang sudah diberi tanda di keningnya sedang
berdiri tidak jauh dari mereka. Secara sembunyi-sembunyi, mereka segera
menangkap dan menjatuhkan si Baroar ke dalam lubang, kemudian menimpanya
dengan tiang besar. Tak seorang pun yang mengetahui perbuatan mereka,
karena para warga sedang asyik bersuka ria. Para hulu balang pun merasa
lega dan gembira, karena berhasil menjalankan tugas dengan lancar.
Demikian pula yang dirasakan oleh Sutan Pulungan, karena si Baroar yang
selalu membuatnya terhina telah mati.
Namun, sejak acara tersebut dilaksanakan, putra Sutan Pulungan tidak
pernah lagi terlihat di istana. Seluruh keluarga istana menjadi panik
dan segera mencari putra Sutan Pulungan. Mereka telah mencarinya di
sekitar istana, namun mereka tetap tidak menemukannya. Sutan Pulung pun
mulai cemas, jangan-jangan para hulubalangnya keliru dalam menjalankan
tugas. Untuk itu, ia pun segera mengutus seorang hulubalang pergi ke
rumah si Saua untuk melihat apakah si Baroar masih bersamanya. Ternyata
benar. Sesampainya di sana, utusan melihat si Baroar sedang membelah
kayu bakar bersama si Saua. Ia pun segera kembali ke istana untuk
melaporkan hal itu kepada sang Raja.
“Ampun, Baginda! Ternyata si Baroar masih hidup. Ia masih bersama janda tua itu,” lapor utusan itu.
Mendengar laporan itu, Sutan Pulungan langsung naik pitam. Ia sangat
marah kepada para hulubalangnya yang telah keliru menjalankan tugasnya.
“Hai, para Hulubalang! Kalian telah salah membunuh. Anak yang kalian
masukkan ke dalam lubang itu adalah putraku, bukan si Baroar!” seru
Sutan Pulungan dengan wajah memerah.
Rupanya kekeliruan itu bermula beberapa saat sebelum upacara adat
tersebut dilaksanakan. Putra Sutan Pulungan melihat tanda silang pada
kening si Baroar. Karena ingin seperti si Baroar, ia pun menyuruh
seseorang untuk membuat tanda yang serupa di keningnya. Kemudian ia
pergi ke tengah keramaian upacara, dan pada saat itulah para hulubalang
menangkapnya secara sembunyi-sembunyi, lalu memasukkannya ke dalam
lubang.
Sutan Pulungan yang telah kehilangan putranya segera memerintahkan
tiga orang hulubalangnya untuk membunuh si Baroar. Ketiga hulubalang itu
pun segera menuju ke rumah si Baroar dengan pedang terhunus. Saat tiba
di sana, mereka tidak menemukan si Baroar dan si Saua.
Rupanya, ada orang yang mengetahui rencana pembunuhan yang akan
dilakukan oleh para hulubalang tersebut terhadap si Baroar. Orang itu
pun memberitahu si Saua agar segera menyelamatkan si Baroar. Jadi,
sebelum para hulubalang tersebut tiba di rumahnya, si Saua telah membawa
lari si Baroar ke daerah persawahan yang sedang menguning padinya, tak
jauh dari tepi Sungai Batang Gadis.
Ketika sampai di daerah persawahan, si Saua mengajak si Baroar untuk
bersembunyi di sebuah gubuk yang atapnya hanya tinggal rangkanya yang
berdiri di tengah sawah. Sebab, ia yakin bahwa para hulubalang tersebut
pasti akan mengejar dan mendapati mereka sebelum tiba di tepi sungai.
“Anakku! Kita bersembunyi di sini saja! Kalau kita terus berlari,
mereka pasti akan menangkap kita, karena mereka bisa berlari dengan
cepat!” ujar si Saua seraya merangkul tubuh si Baroar. Para hulubalang
tersebut tiba-tiba kehilangan jejak. Saat melihat sebuah gubuk di tengah
sawah, mereka pun mendekatinya. Ketika sampai di dekat gubuk itu,
langkah mereka tiba-tiba terhenti. Si Saua dan si Baroar pun semakin
ketakutan, karena mengira para hulubalang tersebut mengetahui keberadaan
mereka. Namun ternyata, para hulubalang tersebut berhenti melangkah,
karena melihat ada seekor burung balam sedang bertengger di puncak
kerangka atap gubuk itu sambil terus berkicau.
“Ayo kawan-kawan kita cari mereka di tempat lain! Untuk apa kita cari
di si janda tua dan si Baroar di gubuk itu. Kalau mereka bersembunyi di
situ, tidak mungkin burung balam itu bertengger di atas sana!” seru
hulubalang yang memimpin pengejaran itu.
Setelah para hulubalang tersebut cukup jauh dari gubuk itu, si Saua
dan si Baroar keluar dari gubuk itu dan berlari menuju ke arah Sungai
Batang Gadis. Namun sialnya, para hulubalang melihat mereka lagi.
“Hai, itu mereka! Ayo kita kejar!” seru pemimpin hulubalang. Si Saua
dan si Baroar pun berlari semakin cepat. Ketika mereka tiba di tepi
sungai, ternyata Sungai Batang Gadis sedang banjir besar, sehingga
mereka tidak dapat menyeberang. Sementara para hulubalang yang
mengejarnya semakin dekat. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa lagi.
Dalam keadaan nyawa terancam, si Saua segera bersujud ke tanah memohon
pertolongan Tuhan Yang Mahakuasa.
“Ya Tuhan! Selamatkanlah nyawa kami!” ucap si Saua.
Ketika mengangkat kepalanya kembali, si Saua melihat sebatang kayu
besar yang amat panjang hanyut melintang di tengah sungai. Anehnya, kayu
besar itu berhenti tepat di hadapan mereka dalam keadaan melintang
sampai ke seberang. Tanpa berpikir panjang dan merasa takut sedikit pun,
janda tua itu dan si Baroar segera meniti kayu besar itu. Begitu tiba
di seberang sungai, kayu besar itu kembali hanyut terbawa arus banjir.
Para hulubalang yang baru tiba di tepi sungai tak dapat lagi mengejar
mereka. Akhirnya, si Saua dan si Baroar selamat dari kematian.
Konon, beberapa tahun kemudian, di seberang Sungai Batang Gadis
tersebut berdirilah sebuah kerajaan yang bernama Panyabungan Tonga-Tonga
yang dipimpin oleh si Baroar bersama permaisurinya. Keturunannya
kemudian dikenal sebagai orang-orang Mandailing yang bermarga Nasution.
* * *
Demikian cerita Si Baroar dari daerah Sumatra Utara, Indonesia.
Menurut masyarakat penutur cerita ini, cerita Si Baroar termasuk
katogeri legenda mengenai asal-usul orang-orang Mandailing yang bermarga
Nasution. Hingga saat ini tempat yang bernama Huto Bargot dan
Panyabungan Tonga-Tonga tersebut menjadi nama dua desa di Mandailing. Di
Desa Panyabungan Tonga-Tonga terdapat sebuah makam tua yang dipercaya
sebagai makam si Baroar.
Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa
seseorang yang berniat jahat kepada orang yang tak bersalah, maka dia
sendiri yang akan tertimpa musibah. Hal ini ditunjukkan oleh perilaku
Sutan Pulungan yang telah berusaha untuk membunuh si Baroar, akan tetapi
putranya sendiri yang terbunuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar