Jika kita mencintai seseorang Berusahalan untuk tampil apa adanya karena Cinta sejati selalu dapat

Jl. Karya Utama Gg. Utama VIII No. 5 Kel. Pangkalan Masyhur Kec. Medan Johor Titikuning Medan, Telp/Hp : 0857 6116 0898

Rabu, 13 Juni 2012

Tugas Makalah Ekonomi Islam



Falsafah Operasional Bank Islam

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MANDIRI PADA MATA KULIAH EKONOMI ISLAM

DIASUH OLEH:

M. ABDULLAH AMIN HASIBUAN, MA

DISUSUN OLEH :

ARDIAN SYAHPUTRA ALWIN
113224041

JURUSAN AKUNTANSI


Description: Black
 









FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MUSLIM NUSANTARA AL-WASHLIYAH
MEDAN
2012

Kata Pengantar
Puji syukur saya panjatkan kepada Sang Khalik atas Kuasa-Nya saya dapat menyelesaikan satu jilid makalah ini sebagai untuk memenuhi kewajiban akan tugas mandiri pada mata kuliah eknomomi Islam.
Di Indonesia, Secara informal ilmu ekonomi islam dikembangkan oleh elemen masyarakat mulai dari mahasiswa, akademisi maupun para profesional. Diantaranya adalah Internasional Institute of Islamic Thougt yang telah menyelenggarakan Kuliah Informal ekonomi Islam di beberapa perguruan tinggi terkemuka di Indonesia.
Ketajaman akan dunia finansial terus mengasah kekuatan dari tiap-tiap sektor yang berkaitan. Seiring perkembangan global, kita dituntut untuk secara jitu memahami seluk-beluk sektor finansial yang indentik dengan kebutuhan kehidupan. Tak ubahnya dengan perekonomian Islam yang tak luput dari jangkauan persaingan global.
Kesehatan akan keuangan perlu didefinisikan secara detail tertutama dalam tataran ekonomi syariah. Oleh sebab itu sebgai pengantar satu jilid makalah ini saya membahas tentang Falsafah Operasional Bank Islam.





Medan, 19 Mei 2012





Penulis



Daftar Isi
Kata Pengantar................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................ ii
Ikhtisar................................................................................................ iii
A.    Pendahuluan........................................................................... 1
B.     Pembahasan............................................................................ 3
1.    Perkembangan Praktik Ekonomi Islam.............................. 3
2.    Gerakan Ekonomi Islam di Indonesia................................ 6
3.    Kebutuhan Operasional Bank Islam.................................. 10
C.     Kesimpulan............................................................................. 12
D.    Daftar Pustaka........................................................................ 13



Ikhtisar
Kemampuan dan instrumen yang dibutuhkan bank Islam unik dan khas, disamping harus menguasai sistem operasional konvensional, ia juga harus menguasai sistem Islamnya, begitu pula instrumen dan produk bank Islam harus sesuai dengan syariat, eknomis, dan strategis. Untuk memperjelas hal tersebut, maka akan dibahas dua hal yang merupakan kebutuhan utama dan keharusan suatu bank Islam.
Sebaik apa pun sebuah konsep (termasuk Bank Islam) apabila tidak didukung oleh SDM yang berkualitas dan memnuhi syarat, maka konsep tersebut akan menjadi tidak berarti karena SDM yang tidak memenuhi syarat akan mampu menerjemahkan visi dan misi yang terkandung dalam konsep tadi secara benar, apalagi yang berhubungan dengan halal dan haramnya suatu produk. Oleh karena itu, perbankan Islam dituntut untuk menyiapkan SDM yang memenuhi syarat untuk menjalankan operasional Bank Islam.
Maraknya perbankan syariah di tanah air tidak diimbangi dengan lembaga pendidikan yang memadai. Akibatnya, perbankan syariah di Indonesia baru pada Islamisasi nama kelembagaanya. Belum Islamisasi para pelakunya secara individual dan secara material. Maka tidak heran jika transaksi perbankan syariah tidak terlalu beda dengan transaksi bank konvensional hanya saja ada konkordansi antra nilaisuku bungan dengan nisbah bagihasil. Bahkan terkadang para pejabat bank tidak mau tahu jika nasabahnya mengalami kerugian atau menurunya keuntungan. Mereka “mematok” bagi hasil dengan rate yang benar-benar menguntungkan bagi pihak bank secara sepihak. Di lain pihak, kadangkala ada nasabah yang bersedia mendepositkan dananya di bank syariah dengan syarat meminta bagi hasilnya minimal sama dengan bank konvensional milik pemerintah. Terlepas dari kekurangan dan kelebihan perbankan syariah, yang pasti dan faktual adalah bahwa ia telah memberikan konstribusi yang berarti dan meaningfull bagi pergerakan roda perekonomian Indonesia dan mengatasi krisis moneter.

 
A.   Pendahuluan
Di Indonesia, Secara informal ilmu ekonomi islam dikembangkan oleh elemen masyarakat mulai dari mahasiswa, akademisi maupun para profesional. Diantaranya adalah Internasional Institute of Islamic Thougt yang telah menyelenggarakan Kuliah Informal ekonomi Islam di beberapa perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Kuliah Informal Ekonomi Islam telah diselenggarakan di Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri, Universitas Gajah Mada dan Universitas Brawijaya.
Para pemikir ekonomi Islam diwakili oleh tokoh-tokoh yang menulis buku ekonomi Islam dan banyak dijadikan rujukan (dengan tidak mengesampingkan pemikir ekonomi Islam yang lain) antara lain: Syafi’i Antonio, Dawan Rahardjo, Adiwarman Karim, Suroso Imam Zadjuli, M. Akhyar Adnan, Muhammad. Seiring dengan perkembangan pemikiran ekonomi Islam tersebut, beberapa perguruan tinggi yang mengawali membuka pendidikan tinggi ekonomi Islam adalah UNAIR dengan S-3 ekonomi Islam, UII dengan Ekonomi Islam di Magister Studi Islamnya (1997), Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Islam Tazkia, Sekolah Tinggi Ilmu Syariah dengan Jurusan Muamalahnya (1997). Dari tiga pendidikan tinggi tersebut berkembang sarjana, master dan doktor Ekonomi Islam yang mewarnai wacana ekonomi Islam di Indonesia. Secara de jure, Jurusan Ekonomi Islam pertama kali yang mendapat izin operasional dari Depag adalah Jurusan Ekonomi Islam Fakultas Ilmu Agama Islam UII (2003). Perkembangan ekonomi Islam di Pendidikan Tinggi setelah itu terjadi sangat kuatnya, di IAIN, UIN, STAIN, PTAI Swasta, sampai Perguruan Tinggi Umum juga membuka konsentrasi atau jurusan Ekonomi Islam.
Di samping itu, perkembangan pemikiran juga mengemuka dalam seminar, simposium dan kajian yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi, ikatan profesi, lembaga keuangan dan pusat studi. Tahun 1997 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia menyelenggarakan Seminar Nasional Metodologi Penelitian Ekonomi Islam dan di Tahun 2002 menyelenggarakan Simposium Nasional Sistem Ekonomi Islami. Magister Studi Islam UII dengan mengusung konsentrasi Islam-nya juga menyelenggarakan Seminar Internasional Ekonomi Islam di Yogyakarta pada tahun 2002, dan melanjutkan isu-isu seminar internasional tersebut dalam Kajian Intensif yang diselenggarakannya selama tahun 2004-2005. Tahun 2004,  Pusat Pengkajian Bisnis dan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang menyelenggarakan Simposium Nasional Sistem Ekonomi Islami II. Tahun 2005, Ikatan Ahli ekonomi Islam Indonesia menyelenggarakan Simposium Internasional Ekonomi Islam dan Muktamar I Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia, di Medan Sumatera Utara.




B. Pembahasan
1.    Perkembangan Praktik Ekonomi Islam
Praktek perbankan di zaman Rasulullah dan Sahabat telah terjadi karena telah ada lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi utama opersional perbankan, yakni: 1) menerima simpanan uang; 2) meminjamkan uang atau memberikan pembiayan dalam bentuk mudharabah, musyarakah, muzara’ah dan musaqah; 3) memberikan jasa pengiriman atau transfer uang. Istilah-istilah fiqh di bidang ini pun muncul dan diduga berpengaruh pada istilah teknis perbankan modern, seperti istilah qard yang berarti pinjaman atau kredit menjadi bahasa Inggris credit dan istilah suq jamaknya suquq yang dalam bahasa Arab harfiah berarti pasar bergeser menjadi alat tukar dan ditransfer ke dalam bahasa Inggris dengan sedikit perubahan menjadi check atau cheque dalam bahasa Prancis.[1]
Fungsi-fungsi yang lazimnya dewasa ini dilaksanakan oleh perbankan telah dilaksanakan sejak zaman Rasulullah hingga Abbasiyah. Istilah bank tidak dikenal zaman itu, akan tetapi pelaksanaan fungsinya telah terlaksana dengan akad sesuai syariah. Fungsi-fungsi itu di zaman Rsulullah dilaksanakan oleh satu orang yang melaksanakan satu fungsi saja. Sedangkan pada zaman Abbasiyah, ketiga fungsi tersebut sudah dilaksanakan oleh satu individu saja. Perbankan berkembang setelah munculnya beragam jenis mata uang dengan kandungan logam mulia yang beragam. Dengan demikian, diperluan keahlian khusus bagi mereka yang bergelut di bidang pertukaran uang. Maka mereka yang mempunyai keahlian khusus itu disebut naqid, sarraf, dan jihbiz yang kemudian menjadi cikal bakal praktek pertukaran mata uang atau money changer.
Peranan bankir pada masa Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan Khalifah al-Muqtadir (908-932). Sementara itu, suq (cek) digunakan secara luas sebagai media pembayaran. Sejarah pebankan Islam mencatat Saefudaulah al-Hamdani sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Bagdad, Iraq dengan Alepo (Spanyol).
Mengingat penting dan strategisnya institusi dan sistem perbankan untuk menggerakan roda perekonomian, maka berbagai upaya dilakukan ahli ekonomi Islam. Pertengahan tahun 1940-an Malaysia mencoba membuka bank non bunga, namun tidak sukses. Akhir tahun 1950-an Pakistan mencoba mendirikan lembaga perkreditan tanpa bunga di pedesaan. Sedangkan uji coba yang relatif sukses dilakukan oleh Mesir dengan mendirikan Mit Ghamr Local Saving Bank  tahun 1963 yang disambut baik oleh para petani dan masyarakat pedesaan. Namun, keberhasilan ini terhenti karena masalah politik, yakni intervensi pemerintah Mesir. Dengan demikian, operasional Mit Ghamr diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir (1967). Baru pada masa rezim Anwar Sadat (1971) sistim nirbunga dihidupkan kembali dengan dibukanya Nasser Social Bank. Keberhasilan di atas mengilhami para petinggi OKI hinga akhirnya berdirilah Islamic Development Bank (IDB) bulan Oktober 1975. Kini IDB memiliki lebih dari 43 kantor di negara anggotanya dengan Jedah menjadi kantor pusatnya.[2]
Ilmu ekonomi Islam adalah suatu yang tidak bisa dipungkiri lagi adalah suatu ilmu yang tumbuh dan menjadi gerakan perekonomian Islam sejak seperempat abad yang lalu. Namun demikian, pergeseran orientasi dari pemikiran ekonomi ke gerakan tak terpisahkan dari hapusnya institusi Khilafah tahun 1924 dan upaya menghidupkanya kembali yang gagal hingga terbentuknya Organisasi Konfrensi Islam. Dengan kata lain, salah satu produk penting yang menyertai kelahiran OKI adalah terpicunya pemikiran ekonomi Islam menjadi gerakan perekonomian Islam. Gerakan itu ditandai dengan diselengarakan Konfrensi Ekonomi Islam secara teratur. Pemantapan hati negara-negara anggota OKI untuk mengislamisasi ekonomi negaranya masing-masing tumbuh setelah Konferensi  Ekonomi Islam III yang diselenggarakan di Islamabad Pakistan bulan Maret 1983. Hasilnya, sejumlah pemerintahan Islam sudah mendirikan Departemen atau Fakultas Ekonomi Islam di universitas-universitas mereka, bahkan sudah mulai meng-Islamkan lembaga pebankan mereka. Gerakan ekonomi syariah adalah suatu upaya membentuk Sistem Ekonomi Islam (SEI) yang mencakup semua aspek ekonomi sebagaimana didefinisikan oleh Umer Chapra dalam, The Future of Economics. Namun demikian, dewasa ini terkesan bahwa ekonomi Islam itu identik dengan konsep tentang sistem keuangan dan perbankan Islam. Kecenderungan ini dipengaruhi oleh beberapa factor berikut: Pertama, perhatian utama dan menonjol para ulama dan cendekiawan Muslim adalah transaksi nonribawi sesuai petunjuk Al-Quran dan Sunnah; kedua, peristiwa krisis minyak 1974 dan 1979 dan keberanian Syekh Zakki Yamani, Menteri Perminyakan Arab Saudi, untuk melakukan embargo miyak sebagai senjata menekan Barat dalam menopang perjuangan Palestina. Tindakan ini ternyata memiliki dua mata pisau. Pertama, Barat menyadari kekuatan dunia Islam yang dapat mengancam kehidupan ekonomi Barat; kedua, hasil penjualan minyak dunia Islam secara nyata telah melahirkan kekuatan finansial negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara dan Asia Tenggara. Negara-negara itu menjadi Negara petro dolar yang menimbulkan pemikiran untuk “memutarkan” uang mereka melalui lembaga keuangan syariah.[3]
Mengiringi kondisi obyektif di atas perkembangan pemikiran di bidang ilmu ekonomi syariah menjadi gerakan pembangunan SEI semakin terpacu dan tumbuh disertai faktor-faktor lain yang mendahuluinya, yaitu: Pertama, telah terumuskannya konsep teoritis tentang Bank Islam pada tahun 1940-an; Kedua, lahirnya ide dan gagasan mendidirikan Bank Islam dalam Keputusan Konfrensi Negera-negara Islam se-Dunia bulan April 1968 di Kuala Lumpur; ketiga, lahirnya negara-negara Islam yang melimpah petro dolarnya. Maka, pendirian bank Islam menjadi kenyataan dan dapat dilaksanakan tahun 1975.
Konferensi Negara-negara Islam sedunia, 21-27 April 1969 memberi dampak positif berupa perkembangan bank Islam atau bank syari’ah di berbagai negara yang ditengarai lebih dari 200 lembaga keuangan dan investasi syari’ah yang berkembang sejak tahun 1975. Pada tahun tersebut, perkembangan sistem ekonomi syari’ah secara empiris diakui dengan lahirnya Islamic Development Bank (IDB).
2.    Gerakan Ekonomi Islam di Indonesia
Akar sejarah pemikiran dan aktivits ekonomi Islam Indonesia tak bisa lepas dari awal sejarah masuknya Islam di negeri ini. Bahkan aktivitas ekonomi syariah di tanah air tak terpisahkan dari konsepsi lingua franca. Menurut para pakar, mengapa bahasa Melayu menjadi bahasa Nusantara, ialah karena bahasa Melayu adalah bahasa yang populer dan digunakan dalam berbagai transaksi perdagangan di kawasan ini. Para pelaku ekonomi pun didominasi oleh orang Melayu yang identik dengan orang Islam. Bahasa Melayu memiliki banyak kosa kata yang berasal dari bahasa Arab. Ini berarti banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep Islam dalam kegiatan ekonomi. Maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas ekonomi syariah tidak dalam bentuk formal melainkan telah berdifusi dengan kebudayaan Melayu sebagaimana terceriman dalam bahasanya. Namun demikian, penelitian khusus tentang institusi dan pemikiran ekonomi syariah nampaknya belum ada yang meminatinya secara khusus dan serius. Oleh karena itu, nampak kepada kita adalah upaya dan gerakan yang dominan untuk penegakan syariah Islam dalam kontek kehidupan politik dan hukum. Walaupun pernah lahir Piagam Jakarta dan gagal dilaksanakan, akan tetapi upaya Islamisasi dalam pengertian penegakan syariat Islam di Indonesia tak pernah surut.[4]
Pemikiran dan aktivitas ekonomi syariah di Indonesia akhir abad ke-20 lebih diorientasikan pada pendirian lembaga keuangan dan perbankan syariah. Salah satu pilihanya adalah gerakan koperasi yang dianggap sejalan atau tidak bertentangan dengan syariah Islam. Oleh karena itu, gerakan koperasi mendapat sambutan baik oleh kalangan santri dan pondok pesantren. Gerakan koperasi yang belum sukses disusul dengan pendirian bank syariah yang relatif sukses. Walaupun lahirnya kedahuluan oleh Philipina, Denmark, Luxemburgdan AS, akhirnya Bank Islam pertama di Indonesia lahir dengan nama Bank Mu’amalat (1992). Kelahiran bank Islam di Indonesia hari demi hari semakin kuat karena beberapa faktor: 1) adanya kepastian hukum perbankan yang melindunginya; 2) tumbuhnya kesadaran masayarakat manfaatnya lembaga keuangandanperbankan syariah; 3) dukungan politik atau political will dari pemerintah. Akan tetapi, kelahiran bank syariah di Indonesia tidak diimbangi dengan pendirian lembaga-lembaga pendidikan perbankan syariah. Sejak tahun 1990-an ketika Dirjen Bimbaga Islam Depag RI melakukan posisioning jurusan-jurusan di lingkungan IAIN, penulis pernah mengusulkan kepada Menteri Agama dan para petinggi di Depag RI agar mempersiapkan institusi untuk mengkaji kecenderungan dan perkembangan ekonomi syariah di tanah air. Usaha maksimal saat itu ialah memilah jurusan Muamalat/Jinayat pada Fakultas syariah IAIN menjadi dua, yakni Jurusan Muamalat dan Jurusan Jinayah-Siyasah.
Maraknya perbankan syariah di tanah air tidak diimbangi dengan lembaga pendidikan yang memadai. Akibatnya, perbankan syariah di Indonesia baru pada Islamisasi nama kelembagaanya. Belum Islamisasi para pelakunya secara individual dan secara material. Maka tidak heran jika transaksi perbankan syariah tidak terlalu beda dengan transaksi bank konvensional hanya saja ada konkordansi antra nilaisuku bungan dengan nisbah bagihasil. Bahkan terkadang para pejabat bank tidak mau tahu jika nasabahnya mengalami kerugian atau menurunya keuntungan. Mereka “mematok” bagi hasil dengan rate yang benar-benar menguntungkan bagi pihak bank secara sepihak. Di lain pihak, kadangkala ada nasabah yang bersedia mendepositkan dananya di bank syariah dengan syarat meminta bagi hasilnya minimal sama dengan bank konvensional milik pemerintah. Terlepas dari kekurangan dan kelebihan perbankan syariah, yang pasti dan faktual adalah bahwa ia telah memberikan konstribusi yang berarti dan meaningfull bagi pergerakan roda perekonomian Indonesia dan mengatasi krisis moneter.[5]
Munculnya praktek ekonomi Islam di Indonesia pada tahun 1990-an yang dimulai dengan lahirnya Undang-undang No. 10 Tahun 1992 yang mengandung ketentuan bolehnya bank konvensional beroperasi dengan sistem bagi hasil. Kemudian pada saat bergulirnya era reformasi timbul amandemen yang melahirkan UU No 7 Tahun 1998 yang memuat lebih rinci tentang perbankan syariah. Undang-undang ini mengawali era baru perbankan syari’ah di Indonesia, yang ditandai dengan tumbuh pesatnya bank-bank syari’ah baru atau cabank syari’ah pada bank konvensional. Maka praktek keuangan syari’ah di Indonesia memerlukan panduan hukum Islam guna mengawal pelaku ekonomi sesuai dengan tuntunan syari’at Islam. Perkembangan berikutnya, MUI sebagai payung dari lembaga-lembaga organisasi keagamaan (Islam) di Tanah Air menganggap perlu dibentuknya satu badan dewan syariah yang bersifat nasional (DSN) dan membawahi seluruh lembaga keuangan, termasuk di dalamnya bank-bank syariah. Hal ini untuk memberi kepastian dan jaminan hukum Islam dalam masalah perbankan syariah sejak diberlakukannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang memberikan peluang didirikannya bank syariah.
DSN-MUI sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2005 telah banyak mengeluarkan fatwa-fatwa tentang ekonomi Islam (mu’amalah maliyah) untuk menjadi pedoman bagi para pelaku ekonomi Islam khususnya perbankan syari’ah. Dalam metode penerbitan fatwa dalam bidang mu’amalah maliyah diyakini menggunakan kempat sumber hukum yang disepakati oleh ulama suni; yaitu Al-Quran al Karim, Hadis Nabawi, Ijma’ dan Qiyas, serta menggunakan salah satu sumber hukum yang masih diperselisihkan oleh ulama; yaitu istihsan, istishab, dzari’ah, dan ‘urf.
Dalam proses penerbitan fatwa diperkirakan mempelajari empat mazhab suni, yaitu imam mazhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali disamping pertimbangan lain yang bersifat temporal dan kondisional. Oleh karena itu, perlu mengkaji secara seksama dan perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui sifat fatwa-fatwa MUI dalam bidang ekonomi Islam dari segi metode perumusannya, sisi ekonomi di sekelilingnya dan respons masyarakat terhadap fatwa-fatwa itu.[6]
Di Indonesia, atas prakarsa Majelis Ulama Indonesia bersama kalangan pengusaha muslim sejak 1992 telah beroperasi sebuah bank syari’ah, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang sistem operasionalnya mengacu pada No. 72 tahun 1992 tentang bank bagi Hasil. Pada tahun 1998, disahkan Undang-undang RI No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan. Secara legal, perbankan syari’ah telah diakui sebagai subsistem perbankan nasional.[7]
Di tengah dinamika tumbuh dan berkembangnya lembaga keuangan syari’ah, pada tahun 1997 krisis ekonomi datang menerjang memporak-porandakan sistem perbankan nasional. Sebagaimana diungkap oleh Warkum, mulai bulan Juli 1997 sampai dengan 13 Maret 1999 pemerintah menutup 55 bank, mengambil alih 11 bank (BTO) dan 9 bank lainnya dibantu melakukan rekapitalisasi. Pada Oktober 2001, sebagaimana laporan Majalah Investasi terjadi lagi satu bank konvensional yang dibekukan atau Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Dari 240 bank sebelum krisis, kini hanya tinggal 73 bank swasta yang dapat bertahan tanpa bantuan pemerintah.[8]
Di antara lembaga keuangan syari’ah yang berkembang secara pesat di tengah sistem perbankan yang sedang sakit adalah antara lain bank syari’ah, BPRS dan BMT. Bank Syari’ah berkembang berdampingan dengan bank-bank konvensional. Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya Bank BNI Syari’ah, Bank Mandiri Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah, Bank Danamon Syari’ah, BII Syariah. Di samping itu berkembang juga lembaga keuangan syari’ah yang bersifat mikro, yang bergerak di kalangan ekonomi bawah, yaitu BMT (Baitul Maal wat-Tamwil).[9]

3.    Kebutuhan Operasional Bank Islam
Kemampuan dan instrumen yang dibutuhkan bank Islam unik dan khas, disamping harus menguasai sistem operasional konvensional, ia juga harus menguasai sistem Islamnya, begitu pula instrumen dan produk bank Islam harus sesuai dengan syariat, eknomis, dan strategis. Untuk memperjelas hal tersebut, maka akan dibahas dua hal yang merupakan kebutuhan utama dan keharusan suatu bank Islam, yaitu:
a)        Sumber Daya Manusia
Sebaik apa pun sebuah konsep (termasuk Bank Islam) apabila tidak didukung oleh SDM yang berkualitas dan memnuhi syarat, maka konsep tersebut akan menjadi tidak berarti karena SDM yang tidak memenuhi syarat akan mampu menerjemahkan visi dan misi yang terkandung dalam konsep tadi secara benar, apalagi yang berhubungan dengan halal dan haramnya suatu produk. Oleh karena itu, perbankan Islam dituntut untuk menyiapkan SDM yang memenuhi syarat untuk menjalankan operasional Bank Islam.
Adapun hal-hal yang perlu dimiliki oleh para praktisi Bank Islam adalah sebagai berikut:
·      Menguasai kemampuan ganda, yaitu operasional bank konvensional dan operasional bank Islam (terutama haram dan halalnya suatu produk bank). Dalam istilah Alquran disebut al-qawy (mampu).
·      Mempunyai track record yang baik dan bersih (beriman dan bertaqwa). dalam Alquran dikenal dengan istlah al-amin (jujur).
·      Menempatkan SDM sesuai dengan job dan kapasitasnya. Dalam istilah hadis dikeal dengan istilah: “celakalah orang yang tidak tahu kadar kemampuannya”.
b)   Instrumen dan Produk Bank Islam
Instrumen dan produk bank  yang  selama ini digunakan bank Islam masih terbatas pada bentuk-bentuk klasik yang  dimodifikasi atau menjiplak istrumen dan produk bank konvensional padahal Islam tidak pernah membatasi dan menentukan instrumen dan produk terntentu dalam menjalankan ekonominya (bank Islam) bahkan menyuruh umatnya untuk selalu berinovasi adn berkrasi. Dari poin inila sebenarnya bank-bank Islam bisa bergerak dan berkembang.
Untuk menghadapi tuntutan tadi, Bank Islam dituntut untuk berinovasi (ijtihad) dan berusaha (jihad) dalam mengembangkan ekonomi Islam melalui bank Islam. Untuk mencipatkan instrumen dan produk baru bank Islam dan mengembangkannya diperlukan kiat-kiat tertentu, yaitu:
a)    Meyakini bahwa investasi dan mencari keuntungan adalah kewajiban dan bagian dari ibadah sosial.
b)   Melakukan penelitian dan kajian tentang bentuk-bentuk investasi yang cocok, unggul, dan punya nilai strategis untuk bangsa Indonesia, karena hanya dengan menunggu adanya usulan dan inisiatif dari masyarakat tidak akan bisa memberi kontribusi yang maksimal.
c)    Mengembangkan dan menggunakan instrumen dan produk bank Islam yang ada secara serius dan komprehensif tanpa memfokuskan pada salah satu instrumen tertentu dan meninggalkan yang lainnya. Hal itu akan memberikan peluang yang lebih banyak bagi para nasabah bank Islam dan sebagai bukti kemapanan sebuah konsep.
d)   Menciptakan instrumen dan produk baru yang inovatif, punya nilai ekonomi yang tinggi dan bersentuhan langsung dengan masyarakat, hal itu bisa dilakukan dengan menggunakan strategi “tak kenal maka tak sayang” artinya bank Islam perlu menciptakan instrumen dan produk yang dibutuhkan masyarakat.
e)    Memodifikasi dan memperbaharui instrumen dan produk bank yang lama dengan instrumen dan produk yang sesuai dengan perkembangan waktu, kompetitif, dan unggul di pasar investasi lokal dan global.[10]
C.    KESIMPULAN
Praktek perbankan di zaman Rasulullah dan Sahabat telah terjadi karena telah ada lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi utama opersional perbankan, yakni: 1) menerima simpanan uang; 2) meminjamkan uang atau memberikan pembiayan dalam bentuk mudharabah, musyarakah, muzara’ah dan musaqah; 3) memberikan jasa pengiriman atau transfer uang.
Fungsi-fungsi yang lazimnya dewasa ini dilaksanakan oleh perbankan telah dilaksanakan sejak zaman Rasulullah hingga Abbasiyah. Istilah bank tidak dikenal zaman itu, akan tetapi pelaksanaan fungsinya telah terlaksana dengan akad sesuai syariah. Fungsi-fungsi itu di zaman Rsulullah dilaksanakan oleh satu orang yang melaksanakan satu fungsi saja. Sedangkan pada zaman Abbasiyah, ketiga fungsi tersebut sudah dilaksanakan oleh satu individu saja. Perbankan berkembang setelah munculnya beragam jenis mata uang dengan kandungan logam mulia yang beragam. Dengan demikian, diperluan keahlian khusus bagi mereka yang bergelut di bidang pertukaran uang. Maka mereka yang mempunyai keahlian khusus itu disebut naqid, sarraf, dan jihbiz yang kemudian menjadi cikal bakal praktek pertukaran mata uang atau money changer.
Ilmu ekonomi Islam adalah suatu yang tidak bisa dipungkiri lagi adalah suatu ilmu yang tumbuh dan menjadi gerakan perekonomian Islam sejak seperempat abad yang lalu. Namun demikian, pergeseran orientasi dari pemikiran ekonomi ke gerakan tak terpisahkan dari hapusnya institusi Khilafah tahun 1924 dan upaya menghidupkanya kembali yang gagal hingga terbentuknya Organisasi Konfrensi Islam. Dengan kata lain, salah satu produk penting yang menyertai kelahiran OKI adalah terpicunya pemikiran ekonomi Islam menjadi gerakan perekonomian Islam. 

DAFTAR PUSTAKA
At-Tariqi, Abdullah Abdul Husain. Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar dan Tujuan. Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004.
Dawam Raharjo, Menegakan Syariat Islam di Bidang Ekonomi, dalam Adiwarman Karim, Bank Islam: analisis fiqh dan Keuangan, Jakarta: IIIT Indonesia, 2003
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Ekonisia, 2002.
Javed Ansari, Ekonomi Islam antar Neoklasik dan Strukturalis: Laporan dari Islamabad dalam Islamisasi Ekonomi: Suatu Sketsa Evaluasi dan Prospek Gerakan Perekonomian Islam, Yogyakarta: PLP2M,  1985.
Zainal Abidin Ahmad, Dasar-dasar Ekonomi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Prof. Dr. H. Veithzal Rivai, S.E., M.M, M.B.A., Ir. H. Arviyan Arifin, Islamic Banking, Jakarta: Bumi Aksara, 2010.




[1] Lihat dalam, At-Tariqi, Abdullah Abdul Husain. Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar dan Tujuan. (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004), h. 14.

[2] Ibid h. 17
[3] Lihat dalam, Zainal Abidin Ahmad, Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979) h. 7.

[4] Lihat Dalam, Javed Ansari, Ekonomi Islam antar Neoklasik dan Strukturalis: Laporan dari Islamabad dalam Islamisasi Ekonomi: Suatu Sketsa Evaluasi dan Prospek Gerakan Perekonomian Islam, (Yogyakarta: PLP2M,  1985) h. 35.

[5] Ibid, h. 37.
[6] Ibid, h. 44.
[7] Ibid, h. 46.
[8] Lihat dalam, Dawam Raharjo, Menegakan Syariat Islam di Bidang Ekonomi, dalam Adiwarman Karim, Bank Islam: analisis fiqh dan Keuangan, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2003) h. 15.
[9] Lihat dalam, Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Ekonisia, 2002) h. 137.

[10] Lihat dalam, Prof. Dr. H. Veithzal Rivai, M.B.A., Andria Permata Veithzal, B.Acct., M.B.A., Islamic Banking  (Jakarta: bumi aksara, 2010) h. 312 dengan sedikit perubahan redaksional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar